Sistem Pers Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pers adalah dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita.
Media adalah media realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain dalam industri media, Mediapun memiliki fungsi ideologis, dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini akan mencakup masalah siapa, kepentingan apa, dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka.
Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanpun juga, media pertama-tama perlu terlebih dahulu di lihat sebagai institusi ekonomi, dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan serta peluang pasar.
Hal lain yang penting diamati dalam pemberitaan pers saat ini, terutama sekali adalah masalah sejauh mana mereka telah berfungsi menciptakan dirinya sebagai bagian dari public sphere. Ini bisa dikaji melalui pengamatan tentang sejauh mana kemampuan untuk memiliki media semakin terpusat di kaum-kaum itu-itu saja, sejauh apa media di tangan mereka itu telah bersedia memberikan akses berimbang ke setiap unsur publik terkait. Dalam proses tersebut pers menempati posisi sentral, khususnya dalam era peradaban di mana praktis semua manusia menjadi bagian dari kesepakatan untuk bersatu dalam kesatuan-kesatuan politik besar, seperti negara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Karakteristik Pers di Indonesia?
2. Jelaskan dinamika dan romatika Pers Indonesia?
3. Jelaskan Rasionalitas dan jati diri pers pancasila?
1.3 Tujuan Penulis
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Agar penulis mengetahui dan memahami tentang arti pers dalam Sistem Komunikasi
Indonesia
2. Agar penulis mengetahui karakteristik sistem pers di Indonesia
3. Agar penulis mengetahui dinamika dan romatika pers Indonesia
4. Agar penulis mengetahui jati diri pers di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Pers
Pers Indonesia sebagai lembaga sosial serta sebagai alat komunikasi massa, menemukan sistemnya secara mantap melalui Undang-Undang No.11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (Undang-Undang Pers 1966) dan mengalami sedikit revisi dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1967, kemudian direvisi lagi dengan Undang-Undang No.21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (Undang-Undang Pers 1982). Sistem Pers Indonesia merupakan subsistem dari Sistem Komunikasi Indonesia, yang menempatkan Sistem Kenegaraan Indonesia sebagai supremasinya.
Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, tanggal 12 Desember 1966, dirumuskan bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum, berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya. Kemudian dalam Undang-Undang No. 21 Tahun1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, frasa alat revolusi diganti menjadi alat perjuangan nasional. Namun pengertian tentang pers mengalami perubahan substansial dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang menyebutkan, “Pers adalah lemabga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memilki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dalam bentuk tulisan, suara, gambar serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Berdasarkan ketiga undang-undang tersebut, terdapat pergeseran pengertian pers dalam arti yang lebih luas, terutama peruabahan dari pers sebagai alat revolusi, menjadi alat perjuangan nasional, dan berubah lagi menjadi wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, sehingga pers tidak lagi berarti hanya sebagai media cetak, tetapi juga dapat menjangkau media elektronik (radio dan televisi) dan segala jenis saluran yang tersedia (internet). Dengan demikian pers memiliki empat makna yaitu: (1) pers sebagai lembaga kemasyarakatan (2) pers sebagai alat revolusi atau alat perjuangan nasional; (3) media komunikasi massa; dan (4) media yang melaksanakn kegiatan jurnalistik.
2.1.1 Pers Sebagai Lembaga Sosial
Dalam Sistem Pers Indonesia dirumuskan bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial (social institution) yang memiliki sifat-sifat kelembagaan (institutional character), karena menyelenggarakan dan melayani informasi dengan cepat dan teratur secara melembaga. Informasi yang disalurkan dan disebarluaskan oleh pers kepada khalayak (audience) heterogen dan anonim itu diolah dalam sebuah organisasi yang dapat melibatkan pembiayaan yang besar. Karena itu pers kemudian berkembang sebagai industri jasa yang bersifat otonom dan profesional serta mendatangkan keuntungan finansial.
Perkembangan pers sebagai industri memberikan makna bahwa pers melayani kepentingan bisnis, sebagaimana yang telah lama terjadi di negara kapitalis. Sebaliknya, pers juga dapat melayani kepentingan politik penguasa seperti di negara otoriter, atau melayani kepentingan partai politik seperti di negara komunis (Uni Soviet dahulu). Demikian juga pers dapat melayani kepentingan para pejuang kemerdekaan seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada masa sebelum dan awal kemerdekaan. Dalam rangka melayani kepentingan yang berbeda itu, pers menjalankan fungsi sosial dan fungsi politik. Hal itu sangat terkait dengan sistem politik dan sistem komunikasi massa yang berlaku di sebuah negara tempat pers itu lahir, berkembang dan beroperasi. Dengan demikian, sistem pers merupakan pencerminan sistem politik yang ada di negara bersangkutan.
Hal tersebut berkaitan erat dengan ideologi suatu negara bangsa, peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Eksistensi, kepemilikan, dan kehidupan pers tidak dapat ditentukan sendiri oleh pers. Bagaimanapun juga pers sebagai lembaga sosial (dan industri jasa) yang melayani informasi serta menyelenggarakan fungsi sosial dan fungsi politik, harus ikut menjaga dan memelihara kepentingan umum bersama-sama dengan masyarakat dan pemerintah. Untuk itu harus terjalin hubungan fungsional yang harmonis antara pers dengan pemerintah dan masyarakat.
Hubungan antara pers dengan pemerintah dan masayarakat dikaji berdasarkan teori sistem atau teori fungsionalisme struktural yang dikembangkan oleh Talcot Parson dan pengikutnya. Meskipun pers itu besifat otonom sebagai sebuah lembaga, pers selalu berada dalam keadaan saling kebergantungan dengan masyarakat dan negara (pemerintah) dimana pers itu bekerja. Hal itu berarti bahwa dalam keseluruhan sistem masyarakat sosial, sistem politik, dan sistem ekonomi suatu negara.
Pers memiliki kekuatan dalam mendorong perubahan sistem kenegaraan, baik politik maupun ekonomi sebagaimana yang terjadi di Indonesia pada awal reformasi (1998) dengan timbulnya perubahan situasi yang kurang demokratis menjadi lebih demokratis. Keikutsertaan pers dalam memengaruhi, bahkan mengubah sistem suatu negara, terjadi melalui pembentukan dan penyaluran opini publik yang efektif. Kenyataan itu menunjukkan bahwa teori fungsionalisme struktural itu tidak seluruhnya benar, meskipun banyak juga terbukti dalam bidang yang lain.
Teori fungsionalisme struktural menjelaskan bahwa antara satu sistem dengan fungsi-fungsinya, yang lebih dominan menentukan adalah sistemnya. Namun teori ini tidak dapat berlaku sepenuhnya karena dalam realitas, pers dan media massa lainnya ternyata memiliki kekuatan tersendiri yang tidak dimiliki oleh subsistem yang lain, yaitu kemampuan pers membentuk dan menyalurkan opini publik. Hal itu dimungkinkan jika ada situasi politik yang kondusif terutama jika ada keterbukaan politik dan kebebasan informasi dalam suatu negara. Oleh karena itu pers bukanlah suatu entitas yang pasif seperti robot, yang hanya mendistribusikan pesan, melainkan aktif, selektif, dan kritis. Hal ini terjadi karena pers sebagai suatu institusi memiliki pemikiran dan idealisme (ideologi) sendiri secara otonom. Itulah sebabnya pers memiliki perspektif atau paradigma yang kemudian menjadi kepribadiannya, yang selanjutnya menjadi kerangka acuan dalam melakukan kegiatannya.
Pers di negara demokrasi, mengmbangkan fungsi yang berbeda dengan fungsi-fungsi di negara-negara otoriter atau yang masih belum demokratis. Laswell dalam Wright menyebut tiga fungsi pokok komunikasi massa (pers) yaitu (a) fungsi pengawasan lingkuangan (surveilance), (b) fungsi hubungan (correlation); (c) fungsi transmisi warisan sosial (social heritage) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kemudian wright menambahkan fungsi yang keempat yaitu fungsi hiburan (entertainment). Lazarsfeld dan Merton menambahkan satu fungsi pers, yaitu fungsi memberi status (status conferral), yang artinya orang atau lembaga yang berprestasi dimuat atau disiarkan nama dan gambarannya oleh pers, mendadak mendapat prestise dan reputasi yang tinggi dilingkungannya.
Selain itu pers di negara demokrasi yang sedang berkembang memiliki sejumlah fungsi sosial yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan, yaitu (a) fungsi informasi (b) fungsi mendidik (c) fungsi hiburan (d) fungsi menghubungkan (e) fungsi kontrol sosial (f) fungsi membuat opini publik. Sedangkan fungsi bisnis dari pers ialah sebagai industri yang melayani konsumen yang men=mbutuhkan informasi pendidikan, dan hiburan.
2.1.2 Pers Sebagai Media Komunikasi Massa
            Selain sebagai lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial, pers disebut juga sebagai media atau wahana komunikasi massa. Dalam massa itu terdapat publik, maka pers juga disebut sebagai media publik. Sebagai pers atau media publik yang tertua dan sekaligus sebagai media cetak yang bersifat visual, pers memiliki kelemahan dan keunggulan sekaligus. Kelemahan yang melekat pada pers meliputi surat kabar dan majalah adalah hanya dapat dibaca dan tidak memiliki aspek bunyi suara manusia, sehingga kurang persuasif  dan aspek hiburannya sangat lemah. Dengan demikian dalam mengunggah dan menyentuh emosi serta sentimen khalayak, surat kabar dan majalah hanya bersifat sederhana dan tidak terlalu mengikat publik.
            Kata pers berasal dari kata pressa (Latin) atau bahasa press (Inggris) yang artinya mesin cetak. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi alat-alat mencetak suatu ide untuk disebarkan lebih lanjut kepada masyarakat. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi media yang menyebarkan ide atau pesan kepada masyarakat, yang dicetak dengan percetakan sebelumnya. Media yang dimaksud itu adalah buku, surat kabar, majalah, buletin, brosur atau pamflet yang isinya mengandung ide atau pemberitahuan kepada masyarakat.
            Pada hakikatnya pers adalah alat komunikasi manusia dalam arti saluran dari pernyataan manusia yang bersifat umum atau terbuka dan aktual serta teratur waktu terbitnya dalam bentuk tercetak. Pers kemudian dibagi menjadi dua jenis, yaitu pers dalam arti luas dan pers dalam arti sempit. Pers dalam arti luas melewati semua barang tercetak seperti surat kabar, majalah, buku, bulletin, dan pamflet. Sedangkan pers dalam arti sempit adalah surat kabar. Kemudian pengertian pers berkembang menjadi semua alat-alat komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, sebagaimana yang dianut di Ameria Serikat. Selain tiu istilah pers juga dipakai untuk orang-orang yang bekerja di bidang redaksi, sehingga pers dimaknai sama dengan jurnalis atau wartawan.
            Surat kabar dan majalah sebagai media cetak hanya dapat disimak oleh khalayak yang berpendidikan dan yang memiliki kebiasaan membaca (reading ability) yang tinggi, dan sukar disimak oleh mereka yang berpendidikan rendah. Surat kabar dan majalah juga sebgaia media cetak menghadapi hambatan yang bersifat geografis, karena dalam penyebarannya memerlukan waktu yang cukup lama untuk jarak yang jauh. Dengan demikian berita yang disajikan oleh surat kabar dan majalah kepada khalayaknya tidak ssecepat oleh radio dan televisi. Surat kabar dan majalah tidak mampu menundukkan ruang dan waktu secara cepat.
            Meskipun demikian surat kabar dan majalah (pers dalam arti yang sempit), memiliki keunggulan lain sebagai alat komunikasi massa yang mewakili media dari golongan the printed writing (yang berbentuk tulisan) atau media dari golongan the visual media (yang hanya dapat ditangkap oleh mata), yaitu dapat dibaca kapan saja dan dimana saja. Surat kabar dan majalah juga relatif lebih mampu membawakan materi yang panjang dan masalah yang kompleks.
            Kompleksitas dan panjangnya materi ditambah pula variasinya yang tak terbatas, sangat berpengaruh pada penerimaan khalayak terhadap materi yang disuguhkan kepadanya. Itulah sebabnya keunggulan surat kabar dan majalah tidak dijumpai pada media lainnya seperti film, radio, dan televisi. Dengan demikian khalayak surat kabar dan majalah memerlukan tingkat kecerdasan tertentu dan kemampuan membaca, untuk menangkap secara jernih kompleksitas dan variasitas materi yang dihidangkan, yang lebih tepat disajikan melalui media cetak yang bersifat visual.
            Selanjutnya Lazarfeld, L.W.Doob dan Berelson (1950) mengemukakan bahwa surat kabar dan majalah memberikan kesempatan kepada pembaca untuk memilih materi yang sesuai dengan kemampuan dan kepentingannya. Bahkan pembaca lebih lanjut dapat membacanya berulang-ulang secara bebas, dalam arti kapan saja ia ingin berhenti membacanya, kemudian melanjutkan lagi. Juga pembaca dapat membuat ikhtisar atau ringkasan apabila dianggap perlu.
            Surat kabar dan majalah tidak terikat oleh waktu dengan menemui khalayaknya. Pembaca dapat kembali kepada materi atau naskah yang pernah dibacanya untuk menguatkan ingatannya, dan dapat menikmati suatu keputusan yang pernah dinikmatinya terdahulu. Media ini dapat menimbulkan efek berganda (multiplier effect), yang tidak dapat dijumpai di media yang lain.
            Selain itu surat kabar dan majalah juga dapat mengembangkan suatu topik dengan lebih luas dan lebih baik. Bahkan, mengembangkan topik tersebut dapat dilakukan melalui media yang lain, seperti radio, film, dan televisi.


2.1.3 Pers Sebagai Kegiatan Jurnalistik
            Pers merupakan media komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. pada awalnya kegiatan jurnalistik itu dilaksanakan dalam surat kabar (news paper), sebagai pers dalam arti sempit. Kini kegiatan jurnalistik itu tidak hanya menggunakan media cetak seperti surat kabar, tetapi juga dilaksanakan dengan menggunakan media cetak seperti surat kabar, tetapi juga dilaksanakan juga dengan media elektronik seperti film dalam bentuk film berita dan seeprti radio dan televisi dalam bentuk siaran berita atau reportase. Kegiatan jurnalistik itu dapat juga dilaksankan melalui saluran lainnya seperti media sosial atau internet, seperti jurnalistik dotcom (dotcom journalism). Perkembangan itu berkaitan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan demokrasi, terutama dalam upaya penerapan kebebasan informasi (freedom of information) yang mencakup kebebasan pers (freedom of the press).
            Kegiatan jurnalistik yang menggunakan film disebut jurnalistik film yang menghasilkan karya jurnalistik yang bernama film berita sehingga tidak mengalami sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF) dan tidak memerlukan izin penayangan baik langsung  maupun melalui televisi. Dalam Undang-Undang Perfilman 1992 dan 2009, film berita sebagai karya jurnalistik tidak termasuk film sebagai karya seni budaya yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dalam bentuk film cerita dan film noncerita.
            Siaran berita melalui radio dan televisi juga merupakan karya jurnalistik radio atau jurnalistik televisi, sehingga tidak mengalami sensor dan izin penyiaran. Dalm Undang-Undang Penyiaran 2002, disebutkan bahwa kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan penyiaran tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan atau ketentuan yang ditetapkan oleh Dewan Pers.
            Selain surat kabar, film, radio dan televisi yang digunakan sebagi media kegiatan jurnalistik, kini juga telah berkembang di Indonesia penggunaan media sosial atau media interaktif, yang melahirkan juga sebuah jurnalistik baru, yang disebut jurnalistik internet atau dotcom journalism, jurnalistik baru yangn cikal bakalnya mulai tumbuh tahun 1994 dan mengalami perkembangan tahun 1997 di Indonesi itu, dikenal juga sebagai media online, website dan situs dalam dunia maya (cyberspace) yang memiliki keunikan dan  karakteristik tersendiri. Penerbitan pers yang konvensional dilengkapi dengan nama dan alamat para pengelolanya (mashead), sementara pers dotcom dapat mengunakan situs-situs yang bersifat anonim (tanpa nama). Demikian juga para wartawan, para penulis dan para fotografernya juga bersifat anonim, sehingga mirip dengan selebaran gelap.
            Berita yang disiarkan di dunia maya itu diterima oleh jutaan orang di seluruh dunia yang terhubung secara global oleh jaringan komputer yang kini dapat digenggam (telepon genggam) dalam sebuah masyarakat baru yang disebut masyarakt maya (cyberspace community) atau masyarakat internet (internet community). Warga masyarakat baru itu tersebar diseluruh dunia dan biasa mengakses atau mengunduh berita yang bersifat umum dan aktual hasil karya jurnalis internet melalui media sosial tanpa hambatan dan mengenal batas negara, serta tanpa dikontrol oleh negara. Hal itu tentu implikasi sosial tanpa hambatan dan mengenal batas negara, serta tanpa dikontrol oleh negara. Hal itu tentu memiliki implikasi sosial, politik, dan hukum, dengan segal dampak positif dan negatifnya.
            Inti dari semua kegiatan jurnalistik tersebut ialah berita, yaitu kejadian sehari-hari yang bersifat umum dan aktual yang disajikan oleh media cetak atau disiarkan oleh media elektronik dan media sosial. Berita itu berkembang dalam beberapa jenis, seperti berita film, berita radio, berita televisi dan berita dotcom, yang berbeda dengan berita surat kabar dan majalah dengan menggunakan gaya bahasa jurnalistik yang berbeda dengan gaya dan bahasa ilmiah.
            Dewasa ini telah berkembang radio berita dan televisi berita yang mayoritas isinya menempatkan berita sebagai fokus program siarannya. Meskipun demikian surat kabar sebagai media cetak merupakan media tertua yang secara tradisional digunakan dalam kegiatan jurnalistik. Surat kabar tercetak pertama di dunia ini ialah Relation yang terbit tahun1609 di Jerman. Surat kabar tercetak pertama yang terbit di Hindia Belanda adalah Bataviasche Nouvelles, 7 Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) yang diterbitkan oleh Belanda dalam Bahasa Belanda. Sedangkan surat kabar pertama yang berbahasa Melayu yang diterbitkan tahun 1907 di Bandung oleh bumiputra (orang Indonesia) ialah Medan Prijaji yang dipimpin oleh Raden Mas Djokodamono yang kemudian berganti nama menjadi Tirtihadisurjo. Setelah Medan Prijaji, terbit pula sejumlah surat kabar di Indonesia, sejalan dengan bangkitnya kesadaran nasional yang diawali oleh berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908 di Jakarta.
            Satu abad kemudian, yaitu dalam tahun 2008 terdapat 1.008 penerbitan (media cetak) nasional di Indonesia, yaitu: 290 surat kabar harian, 397 tabloid, 318 majalah, dan 3 buletin/ jumlah itu jauh berkurang dibanding tahun 1999 ketika Undang-Undang Pers 1999 mulai berlaku, yang mencapai 1.687 penerbitan, yaitu 299 surat kabar harian, 886 tabloid, 491 majalah dan 11 bulletin, ada sepuluh surat kabar di Indonesia dewasa ini yang memiliki pembaca terbesar, yaitu: Kompas, Jawa Pos, Pos Kota, Pikiran Rakyat, Warta Kota, Seputar Indonesia, Radar Malang, Lampu Merah, Media Indonesia dan Radar Bogor (diolah dari berbagai sumber).
2.2 Dinamika dan Romatika Pers Indonesia
            Meskipun Undang-Undang pes itu lahir tahun 1996, sebelumnya telah terbit berbagai peraturan yang melahirkan Sistem Pers Indonesia dalam rangka Sistem Kenegaraan Indonesia. Pemerintah memang selalu mengatur hubungannya dengan pers melalui peraturan atau undang-undang tentang pers, dan dari situlah terungkap secara normatif mengenai Sistem Pers Indonesia yang merupakan bagian integral dari Sistem Komunikasi Indonesia. Sejak Imdonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang, pemerintah selalu melakukan perubahan model hubungannya dengan pers serta hubungan pers dengan masyarakat, sehingga Sistem Pers Indonesia juga selalu berubah, sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam sistem kenegaraan Indonesia.
            Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, telah berlaku empat macam sistem politik dan sistem ekonomi yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga dikenal juga tiga macam sistem pers. Ketiga macam sistem pers itu adalah Sistem Pers Merdeka yang berkaitan dengan masa perjuangan (1945-1950) dan Demokrasi Liberal (1950-1959); Sistem Pers Terpimpin yang terpaut dengan Demokrasi terpimpin (1959-1965); dan Sistem Pers Pancasila yang bergandengan dengan Demokrasi Pancasila (1966-1999) serta sistem pers dewasa ini, sebagai buah reformasi yang menjurus kepada liberalisasi dalam bidang politik dan ekonomi.
            Meskipun dalam era reformasi (1999-sekarang) tersebut terkandung semangat liberalisasi, dari perspektif ideologi, Sistem Pers Indonesia masih tetap dapat disebut sebagai sistem pers pancasila yang mengalami revisi atau perubahan sesuai dengan semangat zaman baru. Meskipun demikian, selalu ada kesinambungan, sejalan dengan regenerasi dan tampilannya generasi baru.
2.2.1 Sistem Pers Merdeka
Sistem pers Indonesia diawali pada Oktober 1945, ketika pemerintah mengumumkan kebijakannya tentang kehidupan pers yang harus merdeka, yang kemudian diperkenalkan oleh Anwar Arifin (1990, 1992) sebagai asas atau Sistem Pers Merdeka bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Dalam pengumuman Menteri Penerangan (Mr. Amir Sjarifoeddin), ditegaskan bahwa pikiran masyarakat umum atau pendapat umum merupakan sendi dasar pemerintahan yang berkedaulatan pikiran rakyat, tetapi pikiran beberapa orang yang berkuasa saja. Itulah sebabnya ditegaskan bahwa asas yang dianut oleh pemerintah Indonesa ialah pers harus merdeka.
            Pada dasarnya Sistem Pers Merdeka itu mencerminkan suatu sistem pers yang dianut oleh beberapa negara barat yang bertumpu kepada paham liberal (liberialisme), yang disana disebut sebagai sistem pers libertarian. Menurut Siebert (1986) dalam sistem libertarian pun, pers tidak sepenuhnya bebas dari pengawasan atau kontrol pemerintah. Sistem itu tampaknya juga berpengaruh di Indonesia, sejalan dengan diterimanya asas demokrasi dalam kehidupan politik.
            Sistem Pers Merdeka ini, kemudian lebh diperluas dengan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang menjadi dasar dari Sistem Demokrasi Parlementer (1950-1959). Undang-Undang Dasar itu mencerminkan sistem demokrasi liberal seperti yang terdapat di beberapa negara barat, dengan memberi peranan yang sangat penting kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara) sebagai lembaga legislative, yang selanjutnya menentukan nasib cabinet atau yang begitu besar, eksistensi partai politik menjadi sangat penting dan strategis. Sistem politik itu disebut juga sebagai Sistem Politik Demokrasi Liberal. Sistem itu sejalan dengan Sistem Pers Libertarian atau Sistem  Pers Merdeka. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950, memang hak-hak asasi warga negara telah tercantum dalam Pasal 16,17, 18, 19, 20, 21, dan 22. Pasal yang menyangkut kebebasan bersuara ialah pasal 19 (setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat).
            Dalam sistem pers yang berpola liberal itu, surat kabar pada umumnya dimiliki oleh swasta termasuk partai politik atau golongan sosial, dan sama sekali bebas dari pengawasan pemerintah. Dalam hal ini pers memiliki kebebasan yang luas untuk mengetahui, memberitakan, menyetujui atau tidak menyetujui dan mendiskusikan segala sesuatunya termasuk yang menyangkut kehidupan kenegaraan. Dengan demikian pers ikut menjalankan fungsi politik terutama sebagai alat demokrasi dengan jalan mengecek atau mengontrol kebijakan pemerintah serta menyalurkan pendapat umum dengan bebas.
            Dalam Sistem Pers Merdeka penerbitan pers tidak memerlukan izin terbit, tidak boleh disensor dan tidak diberedel. Karena itu masyarakat dengan bebas menerbitkan pers (surat kabar). Sejumlah partai politik juga menerbitkan pers sebagai alat perjuangan. Partai Masyumi yang dikenal beraliran Islam modern menerbitkan harian Abadi (1950) dengan tiras (oplah) sebanyak 17.000 lembar. Harian Rakyat yang diterbitkan tahun 1951 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) memperjuangkan aliran komunisme dengan cepat mencapai sirkulasi 23.000 lembar. Pada tahun 1953 Partai Nasional Indonesia (PNI) yang memiliki aliran politik nasionalisme radikal menerbitkan pula Suluh Indonesia dengan oplah 10.000 lembar. Partai Nahdatul Ulama (NU) yang membawa aliran poltik Islam tradisional menerbitkan juga Duta Masyarakat (1953) dengan sirkulasi 15.000 lembar.
            Selain surat kabar yang diterbitkan oleh partai politik tersebut, juga terdapat beberapa surat kabar yang bukan surat kabar partai, tetapi pengaruhnya sangat penting dalam masyarakat, karena memiliki aliran dan orientasi politik. Harian Pedoman yang dikendalikan oleh Rosihan Anwar yang bukan surat kabar partai, diterbitkan tahun 1948 dengan tiras 30.000 lembar banyak memberi dukungan kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang menganut subideologi sosialisme demokrat. Sedang harian Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mohtar Lubis dan terbit pada tahun 1949 dengan sirkulasi 30.000 lembar, sangat konsisten antikomunis dan berjuang untuk terwujudnya demokrasi dan kebebasan pers. Demikian juga harian Merdeka yang terbit dan dipimpin oleh BM Diah sejak tahun 1945 dengan tiras 20.000 kembar, hampir selalu mendapat restu Soekarno, Harian Bintang Timur dinilai berhaluan kiri (komunisme) dengan sirkulasi 5.000 lembar.
            Disamping partai politik, organisasi sosial juga menerbitkan surat jabar Mertjusuar. Serikat Buruh Muslim (Sarbumusi) memiliki harian Duta Revolusi. Demikian juga ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) kemudian memiliki harian Berita Yudha (1965) dan harian Angkatan Bersenjata (1965) yang membawa ideologi Pancasila.
            Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa pers Indonesia, terbagi dalam berbagai ideologi yang berbeda satu dengan yang lain dengan menjadikan pers sebagai alat perjuangan kekuatan sosial politik. Hal itu sesungguhnya merupakan kelanjutan dari tradisi pers yang dalam masa pergerakan digunakan sebagai alat perjuangan nasional. Setelah kemerdekaan Indonesia tercapai posisi pers bergeser menjadi alat perjuangan partai politik atau organisasi sosial.
            Pers Indonesia juga merupakan penjelmaan dari kekuatan-kekuatan primordial (suku, agama, dan aliran) yang ada di Indonesia, sehingga kehidupan pers memiliki konfigurasi ideology dan kepentingan politik yang berbeda-beda. Karena itu terjadi kompetisi dan konflik dalam kehidupan pers dengan persaingan tajam yang tercermin dari polemic yang hampir setiap hari terjadi. Hal itu sekaligus mencerminkan kompetisi dan konflik yang terjadi dikalangan kekuatan-kekuatan sosial politik yang mengancam persatuan Indonesia.
            Situasi tersebut terjadi karena dalam masa Demokrasi Parlementer yang berpola liberal itu peran serta masyarakat sampai ke desa-desa terbuka secara luas sehingga rakyat terlibat ke dalam gerakan-gerakan politik, yang disalurkan melalui partai politik dan disuarakan melalui pers. Dengan demikian kompetisi dan konflik menjadi terbuka.
            Menurut prinsip Pers Merdeka yang berpola liberal, pers memang tidak mempunyai fungsi yang digariskan secara integral dalam kehidupan kenegaraan, tetapi memiliki kebebasan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) tahun 1950-1959. Namun, karena undang-undang yang khusus mengatur kehidupan pers di Indonesia belum terbentuk, penjabaran pasal-pasal dalam UUDS itu belum memadai.
            Tampaknya peran serta (partisipasi) politik rakyat yang sangat tinggi dan kebebasan pers yang luas, telah menjadi semacam boomerang yang mengancam persatuan Indonesia. Hal itu terjadi karena muncul berbagai konflik, krisis, dan ketidakstabilan politik. Indonesia kemudian dinyatakan dalam keadaan darurat perang, yang terkenal dengan SOB (Staat van Darlog en Baleg) yang berlangsung tanggal 14 Maret 1957 sampai 30 April 1963. Dalam keadaan darurat perang itu, pemerintah memberikan wewenang kepada militer untuk mengawas kehidupan politik dan mengontrol pers demi ketertiban dan keamanan.
            Dalam masa tersebut sejumlah surat kabar dan majalah mendapat tindakan keras, bahkan beberapa diantaranya dilarang terbit (diberedel). Tanggal 1 Oktober 1957, Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya mewajibkan semua penerbitan pers dalam wilayah Jakarta Raya memiliki izin terbit. Kemudian Penguasa Perang Tertinggi pada tangal 12 Oktober 1960 mewajibkan pula izin terbit bagi pers di seluruh Indonesia.
            Dengan adanya pemberedelan pers besar-besaran yang dilakukan oleh penguasa militer pada tahun 1957 itu, terutama dengan adanya kewajiban memperoleh izin terbit bagi pers di Indonesia. Sistem Pers Merdeka yang dianut sejak awal revolusi, sudah berakhir. Insan pers menyebut 1 Oktober 1957 itu sebagai hari matinya kebebasan pers di tanah air, meskipun sebelumnya sudah sering terjadi pemberedelan pers dan tekanan pemerintah terhadap pers. Selama 1957-1959 terjadi tiga kali pemberedelan besar-besaran terhadap pers nasional, yaitu pada tahun 1957 (94 surat kabar dan majalah), 1958 (24) dan 1959 (38). Dengan demikian selama masa 1945-1959, sistem pers merdeka tidak dapat terlaksana secara murni, meskipun Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 yang menjadi landasannya masih berlaku hingga tanggal 5 Juli 1959.
            Berdasarkan hal tersebut, maka dalam masa demokratis liberal, terdapat sistem campuran dalam kehidupan pers. Menurut simpulan ilmuwan Altschull, praktik pers yang selalu berbeda dengan teori pers, ditemukan juga di Indonesia pada masa demokrasi liberal.
2.2.2        Sistem Pers Terpimpin
Dalam keadaan darurat perang atau SOB, pemerintah mengambil lagi sejumlah tindakan terhadap pers nasional. Pers dinilai telah menyalahgunakan kebebasannya dan mengabaikan tanggung jawab nasionalnya serta telah turut mempertajam konflik dan ketidakstabilan politik di tanah air. Dalam tahun 1960 terjadi pemberedekan 14 surat kabar dan majalah. Kebebasan pers harus dikurangi dan sebaliknya pers nasional harus memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam memelihara ketertiban, keamanan dan persatuan bangsa. Pers yang sebelumnya memiliki kebebasan, kemudian harus ditertibkan, diawasi dan dikontrol dengan ketat oleh pemerintah demi persatuan nasional.
Pada dasarnya hubungan pers dengan pemerintah dan masyarakat pada saat itu mencerminkan sistem pers yang dianut secara luas pada abad XVI dan XVII di Eropa. Sistem itu bertumpu pada falsafah politik otoriter yang diperkenalkan oleh Siebert (1986) dengan nama sistem pers otoritarian. Teori pers otoritarian masih dipraktikan dibanyak negara. Hal itupun tampaknya berpengaruh juga di Indonesia, kendatipun dengan berbagai variasi, sehingga Smith (1983) dan Anwar Arifin (1990, 1992) memperkenalkan dengan nama Sistem Pers Terpimpin, sesuai dengan Demokrasi Terpimpin yang berlaku di Indonesia tahun 1959-1966.
Kendatipun masa darurat perang sudah berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pengawasan pemerintah terhadap pers tetap diteruskan, bahkan lebih dikembangkan setelah Sistem Demokrasi Liberal gagal menciptakan kestabilan politik dan pemerintahan. Sistem liberal itu dinyatakan berakhir dengan resmi tatkala presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 sebagai usaha mengatasi krisis politik yang terjadi pada masa itu. Dalam dekrit itu dinyatakan bahwa UUD 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumoah darah Indonesia, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Selain itu juga dinyatakan pembubaran konstituante.
Menurut UUD 1945, presiden adalah kepala pemerintahan yang memimpin cabinet dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen/DPR, tetapi bertanggung jawab pada MPR. Dengan demikian Soekarno sebagai presiden, resmi tampil memimpin pemerintahan dan memperkenalkan Sistem Demokrasi Terpimpin dan Sistem Ekonomi Terpimpin, sebagai titik balik dari Sistem Liberal yang berlaku sebelumnya.
Menurut Feith (1988), sistem demokrasi terpimpin itu pada awalnya mendapat dukungan sebagai usaha rekonstruksi politik untuk mengatasi pertentangan yang lebih banyak bersifat ideologis, sebagai akibat menyebarnya kekuatan kerakyatan itu ke dalam estatisme dan sentrifugalisme. Usaha pertama ialah melarang kelompok-kelompok politik kerakyatan, termasuk membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia tahun 1960, yang menentang sistem politik ini. Pengawasan yang ketat kepada pers juga terus dilakukan, disamping mencabut perlindungan hukum bagi semua pemogokan. Dalam usaha menghimpun kekuatan revolusioner, Presiden Soekarno yang menganut slogan revoluso belum selesai, mencoba menerapkan kembali gagasannya tentang persatuan kekuatan nasionalis, Islam, dan Marxis yang dilontarkan dalam masa pergerakan (1926). Gagasan tersebut diangkatnya kembali daam bentuk persatuan nasional, agama, komunis (Nasakom).
Pada masa demokrasi terpimpin tersebut golongan militer mendapat kesempatan yang lebih besar dalam kegiatan pemerintahan di bawah konsepsi dwifungsi ABRI. Hal itu mulai dikembangkan sejak Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang (SOB), dimana militer memperoleh kekuasaan yang lebih besar untuk melaksanakan ketertiban dan keamanan. Militer telah muncul sebagai kekuatan sosial politik yang tangguh, disamping peranan partai politik yang semakin merosot, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Iulah sebabnya kekuasaan politik yang tidak lagi berpusat dalam parlemen, tetapi berpindah pada hubungan timbal balik antara Soekarno, ABRI dan partai politik, khususnya Partai Komunis Indonesia.
Dalam sistem pers terpimpin, posisi dan peranan pers digariskan secara tajam dalam rangka kehidupan sosial politik. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (No. II/MPRS/1960) dijelaskan bahwa pers sebagai alat revolusi berfungsi untuk memperkuat usaha penerangan sebagai media penggerak rakyat dan massa revolusioner. Itulah sebabnya tiga tahun kemudian (1963), MPRS memutuskan agar pers nasional diberikan fasilitas dan bantuan untuk perbaikan mutu, agar dapat benar-benar memenuhi fungsinya sebagai alat revolusi. Selain itu diusulkan juga pembentukan Undang-Undang Pers disamping usul tentang perlunya perbaikan mutu dan penyebaran pers, perbaikan industry grafika dan sebagainya. Pemerintah diwajibkan membina dan mengembangkan pers agar dapat menjadi alat revolusi dengan tenaga-tenaga inti revolusioner dan massa yang bersifat kolektif.
Agar pers betul-betul dapat menjadi alat revolusi, sejak 12 Oktober 1960, penguasa perang tertinggi mengeluarkan peraturan (No. 10 tahun 1960) tentang izin terhadap penerbitan surat kabar dan majalah. Dengan peraturan itu semua surat kabar harus menyesuaikan diri dan sebelum memperoleh izin terbit, harus memenuhi sejumlah persyaratan yang sudah ditetapkan. Selain para penerbit dan para pemimpin redaksi surat kabar dan majalah diwajibkan untuk menandatangani pernyataan yang berisi 19 pasal. Penerbitan yang tidak memenuhi persyaratan dapat dicabut izin terbitnya, dan ditindak berdasarkan hukum yang berlaku.
Selain peraturan tersebut diatas masih terdapat sejumlah peraturan yang berkaitan dengan pers. Salah satu peraturan yang penting ialah Keputusan Menteri Penerangan (No. 29/SK/M/1965) mengenai norma-norma Pokok Pengusahaan Pers dalam rangka Pembinaan Pers Indonesia. Keputusan ini antara lain mewajibkan semua surat kabar berafilasi atau mempunyai gandulan kepada salah satu kekuatan sosial politik (partai politik, organisasi massa dan Pancatunggal). Dengan peraturan ini terdapat 80 surat kabar dan majalah yang bernaung dibawah sembilan partai politik dan organisasi massa. Lebih jauh dari itu semua surat kabar yang ada didaerah harus memiliki nama yang sama dengan nama surat kabar resmi partai tersebut yang ada di Jakarta (misalnya: Obor Revolusi-NU Jawa Timur harus menyesuaikan diri dengan memakai nama Duta Mayarakat edisi Jawa Timur).
Peraturan-peraturan tersebut diatas selain untuk membatasi anggota masyarakat dalam penerbitan pers, juga membatasi kebebasan surat kabar dan memantapkan tanggung jawab nasionalnya. Dalam Sistem Pers Terpimpin, pers betul-betul diharuskan tunduk dibawah kekuasaan dan betul-betul menjadi alat dari kekuasaan. Pers harus melayani kepentingan politik penguasa demi persatuan nasional. Pers yang tidak bersedia mengikuti pola tersebut, dengan sendirinya tidak akan memiliki izin terbit.
Sistem pers terpimpin akhirnya runtuh juga, sejalan dengan runtuhnya kekuasaan Soekarno. Sistem Demokrasi Terpimpin yang dahulunya dibangun diatas kegagalan Sistem Demokrasi Liberal, juga mengalami nasib yang sama. Sistem demokrasi terpimpin yang berpola otoriter itu, ternyata juga tidak mampu menghilangkan konflik politik, malah sebaliknya semakin parah.
Akhirnya Sistem Pers Terpimpin dan Sistem Demokrasi Terpimpin itu mengalami juga keruntuhan akibat Gerakan 30 September/PKI (Gestapu/PKI) pada tahun 1965. Sistem itu secara resmi dianggap berakhir pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan akibat Gestapu/PKI tersebut. Pada saat itu terjadi lagi 11 pemberedelan surat kabar dan majalah yang beraliran komunis dan prokomunis.
Masa itulah yang kemudian disebut sebagai awal suatu periode, yang dinamakan Orde Baru, yang juga melahirkan suatu sistem pers yang berbeda dengan sebelumnya. Sesuai dengan nama sistem politik yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru, yaitu Sistem Demokrasi Pancasila, maka sistem pers yang dikembangkan kemudian juga dinamakan Sistem Pers Pancasila.
2.2.3        Sistem Pers Pancasila
Pengalaman sejarah yang pahit selama dua decade (1945-1965), telah menimbulkan trauma terhadap sistem liberal dan sistem terpimpin. Hal itu telah mendorong usaha yang keras untuk melahirkan suatu sistem baru yang lebih handal sesuai dengan filsafat Pancasila dan UUD 1945, baik dalam bidang poltik dan ekonomi maupun dalam bidang pers.
Pada masa paling dini Orde Baru itu, Presiden bersama DPR pada tanggal 12 Desember 1966 telah berhasil mewujudkan janji konstitusional Pasal 28 UUD 1945 dengan disahkannya UU No. 11 tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (disingkat Undang-Undang Pers, 1966) yang kemudian menjadi dasar Sistem Pers Pancasila.
Berdasarkan sistem tersebut, pers Indonesia dikembangkan dalam kerangka konsepsional yang disebut pers bebas dan bertanggung jawab. Hal itu berarti kebebasan pers Indonesia dibatasi oleh tanggung jawab, terutama dalam melaksanakantugas, fungsi dan kewajiban yang digariskan baik dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) maupun dalam undang-undang pers. Pers Indonesia tetap diposisikan sebagai alat revolusi, dan pada tahun 1982 berubah menjadi alat perjuangan nasional (UU Pers, 1982). Meskipun demikian pers Indonesia tetap memiliki hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat konstruktif. Dalam UU Pers dijelaskan pula bahwa pers Indonesia tidak dikenakan sensor dan pemberedelan, serta keperluan Surat Izin Terbit (SIT) hanya berlaku dalam masa peralihan.
Sesuai dengan sistem Demokrasi Pancasila yang dibangun, maka dalam perkembangan selanjutnya pers Indonesia pun kemudian dikenal sebagai Sistem Pers Pancasila, untuk membedakan dengan sistem pers sebelumnya, yaitu sistem pers merdeka (1945-1959) dan sistem pers terpimpin (1959-1966). Dalam UU Pers (Pasal 11), dijelaskan bahwa penerbitan pers yang bertentangan dengan Pancasila seperti halnya yang bertolak dari paham komunisme/marxisme-leninisme dilarang. Demikian pula dalam Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 Pasal 2 ayat 2 tercantum bahwa kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyaakan kebenaran dan keadilan, dan bukan kebebasan untuk menyatakan kebenaran dan keadilan, bukan kebebasan dalam arti liberialisme. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No. XXXII/1966 tersebut ditegaskan (Pasal 2 ayat 1) bahwa kebebasan pers berhubungan erat dengan keharusan adanya pertanggungjawaban kepada: (a) Tuhan Yang Maha Esa; (b) Kepentingan rakyat; (c) Kelangsungan dan penyelesaian revolusi; (d) Moral dan tatasusila; (e) Kepribadian bangsa. Sedangkan dalam UU Nomor 11/1966, dirumuskan (5 ayat) bahwa kebebasan pers sebagai hak asasi warganegara dijamin (ayat 1), dan kebebasan pers itu didasarkan atas tanggung jawab nasional, dan pelaksanaan kewajiban dan hak pers (ayat 2).
Lahirnya UU Pers pada akhir tahun 1966 itu, telah memantapkan kehadiran pers nasional sebagai sebuah subsistem dalam Sistem Komunikasi Indonesia yang menganut Demokrasi Pancasila. Sistem pers dalam alam Demokrasi Pancasila telah jelas berbeda dengan sistem pers pada masa Demokrasi Liberal atau parlementer, dan juga berbeda dengan sistem pers pada zaman Demokrasi Terpimpin. Sistem pers merdeka titik berat diletakkan kepada tanggung jawab, sistem pers terpimpin tekanan diberikan kepada tanggung jawab dan sistem pers Pancasila, kebebasan dan tanggung jawab diletakkan secara seimbang, sehingga menjadi pers yang bebas dan bertanggung jawab. Itulah sebabnya maka konsep bebas dan bertanggung jawab itu merupakan salah satu ciri pokok dari Sistem Pers Pancasila.
Kendatipun istilah pers Pancasila dan istilah bebas dan bertanggung jawab itu baru ditemukan secara tegas pada akhir tahun 1970-an, prinsip dan gagasannya sudah terdapat pada permulaan orde baru yaitu pada Tap MPRS No. XXXII/MPRS/1966, dan pada UU Pers 1966 yang telah dikutip diawal. Istilah pers Pancasila pada awalnya diperkenalkan antara lain oleh Menteri Penerangan Mashuri, SH (1978-1983). Kemudian dalam UU No. 21 tahun 1982 tentang perubahan atas UU No. 11 tahun 1966, istilah Pers Pancasila dengan resmi menggunakan istilah Pers Sosialis Pancasila.
Prinsip dasar apa yang kita kenal kemudian dengan pers pancasila itu pada dasarnya berada diluar paham liberal dan paham otorier, serta menganut prinsip bebas dan bertanggung jawab. Hal itu telah menjadi dasar pemikiran dari para penyusul Undang-Undang Dasar 1945 sejak masa pergerakan, yang dapat disimakdari diskusi yang melatar belakangi lahirnya pasal 28 UUD 1945 (Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang). Pasal itu menyngkut hak asasi warga negara yang harus dijamin dalam suatu negara demokrasi.
Lahirnya Orde Baru, dan disahkannya Undang-Undang Pers (Nomor 11/1966), dapat dipandang sebagai permulaan era baru bagi pembinaan pers Indonesia terutama dari segi idiil dan konsepsional. Hal itu telah menjadi dasar yang kokoh dalam menuju Pers Pancasila dan Pers yang bebas dan berrtanggung jawab yang dikenal kemudian. Sisitem pers pancasila itu berkembang sejalan dengan berkembangnya sisitem demokrasi pancasila, yang dibangun diatas reruntuhan dua sistem yang sebelumnya.
Pentingnya pers pancasila pada masa lalu itu dikembangkan, terutama untuk menghilangkan konflik ideologi yang terjadi dalam pers sejak masa revolusi karena pers memiliki dan mengembangkan ideologi (aliran politik) yang berbeda satu dengan yang lainnya. Hal itu karena hampir semua surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh partai politik (pers partai) atau berafiliasi kepada partai politik (pers partisan) yang masing-masing mempunyai kepentingan ideologi dan politik tertentu. Selain itu pemerintah dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) juga menerbitkan surat kabar (pers pemerintah) yang berdasarkan ideologi pancasila untuk mengimbangi surat kabaryang memiliki orientasi ideologi dan politik yang berbeda-beda.
Dalam upaya memantapkan ideologi pancasila, pers pancasila perlu dikembangkan dan diaktualisasikan untuk memantapkan jati diri bangsa di antara bangsa-bangsa yang ada di dunia. Pers pancasila memiliki karakterik sendiri yang berdeda dengan karakteristik pers di negara-negara liberal dan komunis, meskipun ada kesamaan dan kemiripan. Bagaimana pun juga manusia Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari filsafat, ideologi dan budaya politik negara dan bangsanya.
Pers Pancasila dirumuskan oleh Dewan Pers (1984) sebagai pers yang berorientasi, bersikap dan bertingkah laku berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian juga Dewan Pers (1984) memberikan formulasi mengenai hakikat Pers Pancasila, yaitu pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, serta kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakikat dan fungsi itu, pers pancasila mengembangkan suasana  saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam mengamalkan Pers Pancasila, mekanisme yang dipakai adalah interaksi positif antara masyarakat, pers dan pemerintah. Dalam hal itu Dewan Pers berperan sebagai pengembang mekanisme interaksi positif tersebut.
Umar Kayam (1987) mengakui bahwa konsep Pers Pancasila memang sudah saatnya diwujdukan sebagai teori pers mengingat teori pers Barat dan teori pers Komunis bersumber dari pandangan hidup (ideologi) yang sudah berusia amat tua. Pers Pancasila merupakan suatu usaha menemukan sistem yang memuaskan individualisme dan kolektivisme yang disebut sebagai integralisme yang tidak menjurus pada totaliterisme dan liberalisme.
Kebebasan dalam Pers Pancasila merupakan bagian dari kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of expression) atau kebebasan informasi (freedom of information), sesuai dengan ideologi Pancasila. Hal itu diatur dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang dalam konsideran termuat substansi bahwa kemerdekaan pers itu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat danmerupakan hak asasi manusia yang hakiki, serta didasarkan pada pasal 28 UUD1945. Rujukan kepada konstitusi itu menggambarkan bahwa pers di Indonesia tidak terlepas dari filsafat dan ideologi Pancasila. Para elit dan tokoh politik dewasa ini telah sepakat bahwa ada 4 pilar yang dianggap sudah final, yaitu Pnacasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Telah dijelaskan bahwa Pancasila sebagai filsafat dan ideologi Indonesia, menganut asas keseimbangan antara kolektivisme dan individualisme sehingga membentuk asas keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab sosial sebagai salah satu dimensi hak asasi manusia Indonesia. Demikian juga hak asasi manusia Indonesia secara filosofis bersumber dari Pancasila, yang memandang bahwa kehidupan tidak berpusat kepada manusia (anthropocentirism), tetapi kepada Tuhan YME (theocentirsm), sehingga tidak bersifat sekuler. Selain itu hak asasi manusia Indonesia berkaitan juga dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, serta persatuan Indonesia  sebagaitujuan perwujudannya. Jika ada perbedaan pendapat maka perbedaan itu dimusyawarahkan bersama untuk mencapai mufakat, dalam upaya menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut maka kebebasan pers di Indonesia salah satu perwujudan hak asasi manusia dalam pandangan pancasila tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosialnya sebagaimana secara substansial tercantum dalam UU Pers (Pasal 2,3,5,6). Pancasila harus tetap menjadi rujukan filosofi dari pers di Indonesia dalam menjalankan fungsi dan peranannya sebagai media komunikasi dalam Sisitem Komunikasi Indonesia.
2.3      Rasionalitas dan Jati Diri Pers Pancasila
Meskipun istilah Pers Pancasila tidak disebut dalam sistem pers Indonesia yang berdasrkan Undang-Undang Pers 1999, dari perspektif ideologi tetap dapat disebut bahwa pers Indonesia adalahpers pancasila. Istilah pers pancasila merupakan karakteristik pers Indonesia, untuk membedakan dengan Pers Liberatarian, Pers Otoritarian, Pers Komunis.
            Pers Pancasila juga merupakan identitas dan jati diri bangsa Indonesia dalam pergaulan antar bangsa. Hal itu  harus dirasionalisasikan dan diaktualisasikan secara berkelanjutan, agar bangsa Indonesia tidak tertepas dari rujukan normatifnya pada konstitusi, dengan melakukan revisi sesuai deangan perkembangan zaman. Para akademisi perlu mengembangkan terus kajian tentang pers pancasila, sehingga teori pers pancasila dapat disandingkan dengan Teori Pers Libertarian, Pers Otoritarian, dan Pers Komunis-Soviet yang pernah eksis.
            Dilihat dari perspekif prodi ilmu komunikasi dan teori sistem, Pers Pancasila dapat ditelan dari berbagai dimensi melalui pendekatan terpadu yang bersifat multidisipliner. Penelaah itu dapat memperlihatkan eksisitensi pers pancasila. Hal itu dilakukan melalui kajian sejarah, dokumentasi, dan observasi, serta kajian pustaka, sehingga diperoleh berbagai upaya membuat perbandingan dengan teori dan sisitem pers yang ada dan berlaku di negara-negara lain terutama yangterkait dengan ideologi.
            Suatu tata hubungan sosial atau sistem yang telah berlangsung relatif lama dapat menciptakan suatu teori tentang tata hubungan itu. teori semacam itu biasanya dicakup dalam buku teks, sebagi teori ilmu pengetahuan sosial, yaitu pernyataan-pernyataan yang ditarik dari relitas emiris yang diperoleh melalui observasi sistemmatis. Hal itu banyak terkait pula dengan teori ilmu pengetahuan soaial lainnya (McQual.1996).
            Karya awal tentang pers pancasila antara lain dihasilkan oleh Prof. Dr. A. Muis, SH, Konsep pers pancasila (1985), Wonohito, Teknik Jurnalistik dalam sisitem pers pancasila (1987). Prof. Dr. Anwar Arifin, juga menulis tiga buku tentang pers pancasila yauitu : Pers Indonesia sebagai Pers Pancasila (1988), Komunikasi Politik dan Pers Pancasila (1992) serta pers dan politik di Indonesia : suatu kajian awal mengenai Pers Pancasila (1995 dan 2003).
            Beberapa seminar nasional tentang Pers Pancasila tentang diselenggarakan pada tahun 1983-1995, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat pers dan perguruan tinggi, sebagai upaya mengembangkan teori tentang pers pancasila melalui kajian ilmiah. Hal itu diwujudkan di universitas hasanuddin dengan mendirikan laboratoriun pers pancsila (1991) dan diajarkan secara ilmiah sebagai salah satu mata kuliah pilihan pada fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Kemudian yayasan Indonesiaku mendirikan juga pusat pengkajian dan pendidikan pers pancasila (P5) dimakasar (1995). Pers pancasila berkembang terus sebagi suatu kajian ilmiah dipeguruan tinggi sesuia dengan semangat zamannya.
            Kini pers pancasila sebagi kajian ilmiah perlu dirasionalisasikan dan diaktualisasikan kembali, setelah sempat surut sejak tahun 1999. Hal itu penting karena sistem pers pancasila memiliki prinsip dasar tersendiri yang merupakan jati dirinya yang sekaligus merupakan jati diri bangsa, yaitu prinsip bebas dan bertanggunng  jawab serta prinsip interaksi positif tri komponen (pers, pemerintah dan masyarakat).
2.3.1 Bebas dan Bertanggung Jawab
Salah satu jati diri dan konsepsi dasar pers pancasila ialah adaya prinsip bebas dan bertanggung  jawab serta prinsip interaksi positif tri komponen (pers, pemerintah dan masyarakat). Kedua prinsip itu telah berkembang secara dinamis sesuai dengan semangat zamannya. Hal itu merupakan suatu model dalam sistem komunikasi indonesia yang ditemukan dalam perjalanan dan pertumbuhan bangsa. Konsep-konsep dasarnya dan penjabarannya dibangun secara bertahap dari waktu ke waktu berdasarkan pemikiran dan pengalaman masyarakat, pers dan pemerintah terutama yang  tergabung dalam dewan pers (Anwar Arifin, 2003:2).
Sistem pers libertarian mengandung prinsip kebebasan bagi pers. Namun, untuk menjalankan kebebasan itu, pers memiliki tanggung jawab dan titik beratnya pada kebebasan. Sebaliknya dalam sistem pers komunis siviet, pers dibebani tangggung jawab, namun dalam rangka tanggung jawab itu pers diberi kebebasan, sehinggga titik beratnya pada tanggung jawab. Sedangkan dalam sistem pers pancasila, pers memperoleh kebebasan dan tanggung jawab yang seimbang, serasi dan selaras, meskipun dalam aktualisasi dan perkembangannya mengalami dinamika dan romantika.
Keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab pers di Indonesia berlangsung secara dinamis sesuai dengan perkembangan keadaan. Pers Indonesia pada masa revolusi berfungsi sebagai alat perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan, sehingga kebebasan dan tanggung jawab nasionalnya berjalan seimbang. Pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959), kebebasan pers sangat menonjol dan tanggung jawab nasionalnya sangat kurang, sehingga membahayakan persatuan Indonesia yang tercantum sebagai sila ketiga dalam Pancasila. Anwar Arifin (1992 dan 2010) menulis bahwa pada masa 1945-1959 itu berlaku sistem pers merdeka yang didasrkan pada pengumuman Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin (Oktober1945) dan UUD Sementara (1950-1959).
Sebaliknya, kebebasan pers dibatasi dalam masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), tetapi tanggung jawabnya diperluas untuk membinas persatuan nasional dan menyelesaikan revolusi Indonesia. Edward .C Smith (1983) dan Anwar Arifin (1992) menyebut bahwa pada masa itu berlaku sistem pers terpimpin yang bersumber dari manifesto politik sebagai haluan negara.
Keseimbangan tersebut berubah lagi pada masa Demokrasi Panacsila (1966-1999). Kebebasan pers agak diperbesar dan tanggung jawabnya agak diperkecil sehingga secara konsepsional terjadi keseimbangan yang relatif sama besar antara kebebasan dan tanggung jawab. Hal itu dikenal dengan nama sistem pers pancasila yang didasarkan pada Ketetapan MPRS (1966) dan UU Pers (1966 dan 1982). Namun pelaksanaannya masih terasa agak besar pada tanggung jawab. Akhirnya mulai tahun 1999, kebebasan pers diperluas sedang tanggung jawabnya dikurangi, sejalan dengan menguatnya indiviualitas dan melemahnya kolektivitas, sehingga agak bergeser ke arah liberalisasi (Anwar Arifin, 2011).
Posisi ideal yang perlu dirasionalisasikan dan diaktualisasikan terus sebagai jati diri pers pancasila, adalah keseimbangan yang sama berat antara kebebasan dan tanggung jawab, baik dari segi konsepsional maupun dari segi operasinalnya. Hal itu sesuai dengan pancasila yang memosisikan secara harmonis antara kolektivisme dan individualisme yang diwujudkan dalam konsepsi tentang kedaulatan rakyat atau konsepsi tentang negara kesejahteraan dan negara kekeluargaan yang merupakan landasan sistem komunikasi indonesia yang mencakup sistem pers indonesia.
Prinsip bebas dan bertanggung jawab bagi pers, pada awalnya ditemukan secara resmi dalam 2 dokumen penting yaitu ketetapan MPRS dan UU Pers. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No. XXXII/MPRS/1996 (pasal 2 ayat 2), menyebutkan bahwa kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan dalam arti liberalisme. Bahkan dalam ketetapan MPRS No. XXXII/1966 tersebut (pasal 2 ayat 1) ditegaskan bahwa kebebasan pers berhubungan erat dengan keharusan adanya pertanggung jawab kepada:
a.       Tuhan Yang Maha Esa
b.      Kepentingan Rakyat
c.       Kelangsungan dan penyelesaian revolusi
d.      Moral dan tata susila
e.       Kepribadian bangsa
Sedangakan dalam UU No. 11/1966,dirumuskan (5 ayat) bahwa kebebasan pers sebagai hak asasi warganegara dijamin (ayat 1), dan kebebasan pers itu didasrkan atas tanggung jawab nasional, dan pelaksanaan kewajiban dan hak pers (ayat 2). Selanjutnya (pasal 11), dijelaskan bahwa penerbitan pers yang bertentangan dengan pancasila seperti halnya yang bertolak dari paham komunisme/Marxisme-Leninisme dilarang.
Istilah tanggung jawab seperti diatas, tidak ditemukan lagi dalam UU No. 40 tahun 1999. Demikian juga istilah kebebasan diganti dengan istilah kemerdekaan, seperti: “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.” (pasal 2). Demikian juga kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan dan pelarangan penyiaran (pasal 4).
Meskipun tidak ada istilah tanggung jawab pers, secara substansial konsep kebebasan dan tanggung jawab tetap dapat disimak dengan nuansa yang berbeda dalam UU Pers 1999. Penjabaran tanggung jawab pers tetap ditemukan dalam rumusan tentang fungsi, kewajiban dan peranan pers yang diatur agak perinci. Demikian juga secara substansial tergambar adanya tanggung jawab sosial, karena pers diberi fungsi pendidikan (pasal 3) dan kewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (pasal 5). Pers juga diberi peranan menegakkan hak asasi manusia dan menghormati kebhinnekaan (pasal 6). Selain itu diatur juga tentang keharusan wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (pasal 7).
Substansi tersebut merupakan penjabaran dari prinsip tanggung jawab sosial pers dalam negara yang memiliki ideologi Pancasila. Meskipun model tamggung jawab pers itu memiliki kemiripan dengan sistem tanggung jawab sosial pers (social responsibility press) di Amerika Serikat yang bersumber dari filsafat individualisme dan liberalisme, tanggung jawab pers di Indonesia bertolak dari filsafat Pancasila.
Ciri adanya tanggung jawab sosial pers dalam sistem social responsibilty press, ditandai oleh hadirnya Dewan Pers dan kode etik bagi wartawan dalam menjalankan tugas profesinya. Dewan pers berfungsi menetapakan dan mengawasi pelaksanaan kode etik, karena kode etik berperan sebagai rambu-rambu dalam profesi jurnalistik. Sistem pers pancasila dan social responsibility press itu dapat disebut sebagai kebebasan positif.
Eksistensi Dewan Pers dan kehadiran Kode Etik Jurnalistik ditemukan juga dalam UU Pers 1999. Dewan Pers tercantum dalam pasal 15, dengan rumusan: “dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang Independen”. Istilah kode etik jurnalistik dikemukakan dalam pasal 7, dengan rumusan: “wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik”.
Dewan pers tersebut berfungsi antara lain menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik, disamping melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak ketiga dan melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. Anggota dewan pers terdiri atas wartawan, pimpinan perusahaan pers dan tokoh masyarakat, ahli dibidang pers atau komunikasi dan bidang lainnya.
Kode etik jurnalistik antara lain dimiliki oleh wartawan yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). KEJ PWI yang ditetapkan pada bulan oktober 1998 di Semarang, memuat kata Pancasila dan istilah tanggung jawab yang tidak ditemukan dalam UU Pers 1999. Ditegaskan dalam KEJ PWI, bahwa wartawan Indonesia menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan Pancasila. Selain itu, ditegaskan juga bahwa wartawan Indonesia bertakwa kepada kepentingan bangsa dan negara.
Istilah kebebasan dan tanggung jawab juga sangat gamblang dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Undang-undang itu menegaskan bahwa kemerdekan menyampaikan pendapat dan meperoleh informasi melalui penyiaran dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras, dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan. Sistem penyiaran nasional diperlukan untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat sebagai upaya menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian juga disebutkan bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan asas manfaat adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab,Perlu diingat bahwa pengertian tentang pers dalam Sistem Pers Indonesia berdasarkan UU Pers 1999 telah mencakup juga kegiatan jurnalistik dalam penyiaran radio dan televisi serta penayangan film berita. Pers tidak lagi hanya berarti media cetak sebagaimana yang dianut sebelumnya. Kini istilah pers mencakup surat kabar, film, radio dan televisi yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Siaran yang bukan jurnalistik, tidak termasuk dalam pengertian pers yang berlaku dewasa ini. Itulah sebabnya prinsip bebas dan bertanggung jawab dalam sistem pers Indonesia sebagai pers Pancasila berlaku juga dalam penyiaran radio dan televisi yang menyiarkan karya jurnalistik.
Hilangnya kata tanggung jawab dan kata Pancasila dalam Undang-Undang Pers tahun 1999 dapat dipahami, karena undang-undang tersebut dibuat dan disahkan pada masa transisi yang penuh euphoria demokrasi dimana pendulum politik, tergelincir kekanan dengan terjadinya liberlisasi dalam bidang politik dan bidang ekonomi. Keadaan tersbut semakin disadari oleh banyak pihak sebagai bentuk kebebasan negative (negatife freedom) yang harus dikoreksi dan diluruskan, sehingga pendulum politik bergeser lagi ketengah. Itulah sebabnya ketika Undang-Undang Penyiaran disahkan dalam 2002, kata tanggung jawab dan kata Pancasila tetap eksis. Hal itu menunjukan bahwa sebagai sebuah bangsa, filsafat Pancasila  dan budaya politik nasional yang memerhatikan keseimbangan, keserasian, dan kelarasan tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Pers di Indonesia telah bergeser dari pers perjuangan dan pers pembangunan menjadi pers bisnis atau pers industry setelah 50 tahun Indonesia merdeka. Bahkan Ibnu Hamat (2004: 67) menemukan bahwa Undang-Undang Pers 1999 itu menguatkan kapitalisasi media dengan member basis yang kuat bagi lahirnya industry media dan meggeser pers idealis dalam memenuhi kepentingan pasar.
Pergeseran pers kea rah industry dalam arti kapitalisasi media menimbulkan kekhawatiran  banyak pihak, karena pers bisnis atau pers industri dapat mengancam kebebasan masyarakat dalam mendapatkan akses terhadap penggunaan media. Demokrasi memang mengalami dilema dan konflik pada dirinya terutama jika dihadapkan kepada sila kelima Pancasila yaitu mewujudkan kadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai, cita-cita kemerdekaan yang dipromalaksikan tanggal 17 agustus 1945.
2.3.2 Interaksi Positif Tri Komponen
Terwujud dalam pelaksanaan prinsip interaksi positif tri komponen yaitu pers, di Indonesia tetap berada pada posisi sebagai kebebasan positif (positife freedom) yaitu kebebasan untuk kesejahteraan umum. Sidang Pleno ke XVII Dewan Pers pada bulan Agustus 1977 di Solo memutuskan bahwa interaksi positif tri komponen tersebut dikembangkan sekreatif mungkin untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan manusia Indonesia seutuhnya. Dewan Pers juga menjelaskan bahwa interaksi tersebut sangat berbeda degan yang dianut oleh negara-negara demokrasi liberal Barat yang mendasarkan kehidupan dan dinamikanya pada individu dan kompetisi sera antagonistic.
Interaksi ketiga komponen tersbut pada hakikatnya berlatar belakang pada pandangan dan kenyataan bahawa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, , mengembangkan kekeluargaan dan kolektivisme yang dikombinasikan dengan individuaisme. Dinamika yang dikembangkan menurut Dewan Pers, bukan pertarungan “singa gede, menang kerahe”, melainkan atas paham hidup menghidupi yaitu simbiosis mutualisme.
Interaksi positif itu hanya mungkin berkembang secara harmonis, kreatif, dan dinamis jika dilandasi saling menghormati antara pers, pemerintah, dan masyarakat serta saling memahami tanggung jawabnya. Bukan hanya pers yang harus bertanggung jawab, melainkan juga pemerintah, dan masyarakat untuk saling menjaga keselamatan bangsa dan negara serta memjukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Undang-Undang pers 1999 menungkapkan posisi pers dalam hubungannya dengan pemerintah bersifat bebas. Demikian juga hubungan pers dengan masyarakat politik (partai politik) juga bersifat bebas yang berbeda dengan hubungan pers dengan masyarakat politik pada Sistem Pers Merdeka (1945-1958) dan Sistem Pers Terpimpin (1959-1965) pada masa lalu. Kini pers telah diletakkan jauh dari kekuasaan dan ditempatkan dekat dengan masyarakat (bisnis) sehingga pers dengan bebas melakukan control terhadap jalannya pemerintah.
Hubungan mitra secara fungsional itu merupakan bentuk rasionalisme dan aktualisasi Pers Pancasila pada abad k-21 ini. Orang komunisa di Uni Soviet pada masa lalu menyebut bahwa pers dinegara liberalis-liberalis itu sebagai pers yang mata duitan. Agar pers tidak mata duitan, orang komunis harus membebaskan pers dari kontrol dan kendali pemilik modal atau kapitalis dengan memindahkan pemilikan dan pengendalian itu kepada negara melalui partai komunis.
Pers di negara liberal memang bebas dari pengawasan pemerintah, namun dikendalikan dan diperhatikan oleh kapitalis (borjuis) atau pemilik modal (konglomerat). Sebaliknya pers komunis bebas dari kendali kapitalis, tetapi menjadi alat kekuasaan dan partai komunis (siebert, 1986:9).
Di negara liberalis-kapitalis, pers dilbertarian lahir dan berkembang atas modal swasta tanpa bantuan dari pemerintah sehingga bebas mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Sebaliknya pers komunis lahir dan berkembang dengan modal pemerintah melalui partai komunis dan sama sekali tidak mencari keuntungan, sehingga pers bebas dari kaum kapitalis itulah sebabnya orang Amerika menuduh pers komunis adalah pers yang paling dikendalikan oleh penguasa.
Baik pers libertarian maupun pers komunis, pada hakikatnya adalah pers yang bebas. Pers libertarian bebas dari pengawasan pemerintah dan sebaliknya pers komunis bebas dari kendali kapitalis. Pers pancasila yang harus diaktualisasikan dan rasionalisasikan dewasa ini adalah dalam bentuk pengehentian pengawasan dan pembinaan pemerintah terhadap pers, namun tetap membolehkan adanya bantuan dari pemerintah kepada pers atau kepada wartawan.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian pers sebagai alat revolusi (1966) berubah menjadi alat perjuangan (1982) dan kemudian berubah lagi menjadi wahana komunikasi massa yang menyelenggarakan kegiatan jurnalistik (1999) yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis asluran yang tersedia. Pada awalnya kegiaatan jurnalistik itu hanya dilakukan  melalui surat kabar (news paper) dan majalah sebagai pers dalam arti yang sempit, namun kini kegiatan jurnalistik itu telah menggunakan juga media elektronik dan media sosial (internet). Kini berkembang jurnalistik film dalam bentuk film berita, jurnalistik radio, dan jurnalistik televise dalam bentuk siaran berita serta jurnalistik internet atau jurnalistik dotcom (dotcom journalism) di dunia maya (cyberspace community). Perkembangan itu berkaitan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan demokrasi terutama upaya penerapan kebebasan informasi (freedom of information) yang mencakup kebebasan pers (freedom of the press).
Dalam sejarah perkembangan pers Indonesia sebagai alat resolusi atau alat perjuangan nasional, lembaga sosial dan media komunikasi massa, mengalami romantika perkembangan dalam interaksinya dengan pemerintah dan masyarakat. Sistem Pers Indonesia dimulai dengan sistem Pers Merdeka, kemudian berubah menjadi Sistem Pers Pancasila yang kemudian mengalami revisi. Perkembangan yang dinamis itu berkaitan erat dengan perkembangan sistem politik Indonesia sejak Indonesia merdeka hingga saat ini.
Sistem Pers Pancasila menemukan urgensinya dalam menghilangkan konfik ideology dalam pers karena masing-masing memiliki Indonesia yang berbeda satu dengan lainnya sebagai akibat banyaknya surat kabar yang dimiliki oleh partai politik atau berafilasi dengan partai politik. Pers Indonesia sebagai Pers Pancasila kemudian perlu dirasionalisasikan dan diaktualisasikan serta dikembangkan sebagai kajian ilmiah diperguruan tinggi, agar Pers Pancasila tetap dapat berkembang sesuai dengan semangat zaman, tanpa kehilangan rujukan pada konstitusi.
Sistem Pers Pancasila memiliki jati diri dengan adanya prinsip dasar yaitu: (1) bebas dan bertanggung jawab, dan (2) interaksi positif antara pers dengan pemerintah dan masyarakat. Konsep interaksi positif solo (1977) antara lain menegaskan bahwa interaksi ketiga komponen itu tidak bisa lain, harus berlangsung dalam perangkat dan pranata pancasila sebagai norma dan etika dasar bagi kehidupan masyarakat bangsa dan negara Indonesia. Demikian pula dijelaskan bahwa interaksi ketiga komponen itu pada hakikatnya berlatar belakang pada pandangan dan kenyataan bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, mengembangkan paham kekeluargaan dan kolektivisme yang dikombinasikan dengan individualism.
Pola interaksi tersebut dikembangkan sesuai dengan semangat zaman baru yaitu dari hubungan mitra secara strukturual menjadi hubungan mitra secara fungsional yaitu secara bersama-sama menegakkan keadilan dan kebenaran serta bersama-sama mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat insonesia sesuai dengan posisi dan fungsinya masing-masing. Kemitraan secara fungsional itu merupakan bentuk rasionalisasi dan aktualisasi Pers Pancasila dalam abad ke-21 ini.
Prinsip dasar dan nilai dasar tersebut merupakan jati diri dan aktualisasi Sistem Pers Pancasila yang membedakannya dengan sistem pers di negara liberal dan di negara komunis, serta negara-negara lain. Hal itu merupakan salah satu aspek negara kesejahteraan dan kedaulatan rakyat sebagai landasan Sistem Komunikasi Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 2011. Sistem Komunikasi Indonesia. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah bentuk bentuk perusahaan

Kekuasaan Wewenang dan Kepemimpinan.

LAPORAN PENELITIAN PUBLIC RELATION PERUSAHAAN